Ibnu Taimiyah
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Abu al-Abbas Taqi al-Din Ahmad ibn Abd al-Salaam ibn Abdullah ibn Taymiya al-Harrani (Bahasa Arab: أبو عباس تقي الدين أحمد بن عبد السلام بن عبد الله ابن تيمية الحراني) (lahir: 22 Januari 1263 (10 Rabiul Awwal 661 H) – wafat: 1328 (20 Dzulhijjah 728 H) ), adalah seorang pemikir dan ulama Islam dari Harran, Turki.
Ibnu Taymiyyah berpendapat bahwa tiga generasi awal Islam, yaitu Rasulullah Muhammad SAW dan Sahabat Nabi, kemudian Tabi'un, yaitu generasi yang mengenal langsung para Sahabat Nabi, dan Tabi'it al-Tabi'un, yaitu generasi yang mengenal langsung para Tabi'un adalah contoh yang terbaik untuk kehidupan Islam.
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Biografi
Ia berasal dari keluarga religius. Ayahnya Syihabuddin bin Taymiyyah. Seorang Syaikh, hakim, khatib. Kakeknya Majduddin Abul Birkan Abdussalam bin Abdullah bin Taymiyyah Al-Harrani Seorang Ulama yang menguasai fiqih, ahli hadits, tafsir, ilmu ushul dan penghafal Al Qur'an (hafidz).
Ibnu Taymiyyah lahir di zaman ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan budaya Islam pada masa Dinasti Abbasiyah. Ketika berusia enam tahun (tahun 1268), Ibnu Taymiyyah dibawa ayahnya ke Damaskus disebabkan serbuan tentara Mongol atas Irak.
[sunting] Perkembangan dan Hasrat keilmuan
Semenjak kecil sudah nampak tanda-tanda kecerdasan pada diri beliau. Begitu tiba di Damsyik beliau segera menghafalkan Al-Qur’an dan mencari berbagai cabang ilmu pada para ulama, huffazh dan ahli-ahli hadits negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut tercengang. Ketika umur beliau belum mencapai belasan tahun, beliau sudah menguasai ilmu Ushuluddin dan sudah mengalami bidang-bidang tafsir, hadits dan bahasa Arab. Pada unsur-unsur itu, beliau telah mengkaji musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali, kemudian kitabu-Sittah dan Mu’jam At-Thabarani Al-Kabir.
Suatu kali, ketika beliau masih kanak-kanak pernah ada seorang ulama besar dari Halab (suatu kota lain di Syria sekarang, pen.) yang sengaja datang ke Damasyiq, khusus untuk melihat si bocah bernama Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad Perkembangan dan Hasrat keilmuan ==
Semenjak kecil sudah nampak tanda-tanda kecerdasan pada diri beliau. Begitu tiba di Damsyik beliau segera menghafalkan Al-Qur’an dan mencari berbagai cabang ilmu pada para ulama, huffazh dan ahli-ahli hadits negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut tercengang. Ketika umur beliau belum mencapai belasan tahun, beliau sudah menguasai ilmu Ushuluddin dan sudah mengalami bidang-bidang tafsir, hadits dan bahasa Arab. Pada unsur-unsur itu, beliau telah mengkaji musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali, kemudian kitabu-Sittah dan Mu’jam At-Thabarani Al-Kabir.
Suatu kali, ketika beliau masih kanak-kanak pernah ada seorang ulama besar dari Halab (suatu kota lain di Syria sekarang, pen.) yang sengaja datang ke Damasyiq, khusus untuk melihat si bocah bernama Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad, beliaupun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya. Hingga ulama tersebut berkata: “Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang bocah seperti dia.
Sejak kecil beliau hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama, mempunyai kesempatan untuk mereguk sepuas-puasnya taman bacaan berupa kitab-kitab yang bermanfaat. Ia infakkan seluruh waktunya untuk belajar dan belajar, menggali ilmu terutama kitabullah dan sunah Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam. , beliaupun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya. Hingga ulama tersebut berkata: “Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang bocah seperti dia.
Sejak kecil beliau hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama, mempunyai kesempatan untuk mereguk sepuas-puasnya taman bacaan berupa kitab-kitab yang bermanfaat. Ia infakkan seluruh waktunya untuk belajar dan belajar, menggali ilmu terutama kitabullah dan sunah Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam.
[sunting] Kepribadiannya
Beliau adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah, mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ia pernah berkata: ”Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku.”
[sunting] Pendidikan dan Karyanya
Di Damaskus ia belajar pada banyak guru, dan memperoleh berbagai macam ilmu diantaranya ilmu hitung (matematika), khat (ilmu tulis menulis Arab), nahwu, ushul fiqih . Dan satu hal ia dikaruniai kemampuan mudah hafal dan sukar lupa. Hingga dalam usia muda, ia telah hafal Al-Qur'an. Kemampuan beliau dalam menuntut ilmu mulai terlihat pada usia 17 tahun. Dan usia 19, ia telah memberi fatwa dalam masalah masalah keagamaan.
Ibnu Taymiyyah amat menguasai ilmu rijalul hadits (perawi hadits) yang berguna dalam menelusuri Hadits dari periwayat atau pembawanya dan Fununul hadits (macam-macam hadits) baik yang lemah, cacat atau shahih. Ia memahami semua hadits yang termuat dalam Kutubus Sittah dan Al-Musnad. Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah atau dalil, ia memiliki kehebatan yang luar biasa, sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan kelemahan para mufassir atau ahli tafsir. Tiap malam ia menulis tafsir, fiqh, ilmu 'ushul sambil mengomentari para filusuf . Sehari semalam ia mampu menulis empat buah kurrosah (buku kecil) yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang syari'ah. Ibnul Wardi menuturkan dalam Tarikh Ibnul Wardi bahwa karangan beliau mencapai lima ratus judul. Karya-karya beliau yang terkenal adalah Majmu' Fatawa yang berisi masalah fatwa fatwa dalam agama Islam
[sunting] Wafatnya
Beliau wafatnya di dalam penjara Qal`ah Dimasyq disaksikan oleh salah seorang muridnya Ibnul Qayyim.
Beliau berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari, mengalami sakit dua puluh hari lebih.
Jenazah beliau dishalatkan di masjid Jami`Bani Umayah sesudah shalat Zhuhur dihadiri para pejabat pemerintah, ulama, tentara serta para penduduk.
Beliau wafat pada tanggal 20 DzulHijjah th. 728 H, dan dikuburkan pada waktu Ashar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal Al-Islam Syarafuddin.
[sunting] Pujian Ulama Terhadap Beliau
Al-Allamah As-Syaikh Al-Karamy Al-Hambali dalam Kitabnya Al-Kawakib AD-Darary yang disusun kasus mengenai manaqib (pujian terhadap jasa-jasa) Ibnu Taimiyah, berkata: “Banyak sekali imam-imam Islam yang memberikan pujian kepada (Ibnu Taimiyah) ini. Diantaranya: Al-Hafizh Al-Mizzy, Ibnu Daqiq Al-Ied, Abu Hayyan An-Nahwy, Al-Hafizh Ibnu Sayyid An-Nas, Al-Hafizh Az-Zamlakany, Al-Hafidh Adz-Dzahabi dan para imam ulama lain.
Al-Hafizh Al-Mizzy mengatakan: “Aku belum pernah melihat orang seperti Ibnu Taimiyah ….. dan belum pernah kulihat ada orang yang lebih berilmu terhadap kitabullah dan sunnah Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam serta lebih ittiba’ dibandingkan beliau.”
Al-Qadhi Abu Al-Fath bin Daqiq Al-Ied mengatakan: “Setelah aku berkumpul dengannya, kulihat beliau adalah seseorang yang semua ilmu ada di depan matanya, kapan saja beliau menginginkannya, beliau tinggal mengambilnya, terserah beliau. Dan aku pernah berkata kepadanya: “Aku tidak pernah menyangka akan tercipta manasia seperti anda.”
Al-Qadli Ibnu Al-Hariry mengatakan: “Kalau Ibnu Taimiyah bukah Syaikhul Islam, lalu siapa dia ini ?” Syaikh Ahli nahwu, Abu Hayyan An-Nahwi, setelah beliau berkumpul dengan Ibnu Taimiyah berkata: “Belum pernah sepasang mataku melihat orang seperti dia …..” Kemudian melalui bait-bait syairnya, beliau banyak memberikan pujian kepadanya.
Penguasaan Ibnu Taimiyah dalam beberapa ilmu sangat sempurna, yakni dalam tafsir, aqidah, hadits, fiqh, bahasa arab dan berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam lainnya, hingga beliau melampaui kemampuan para ulama zamannya. Al-‘Allamah Kamaluddin bin Az-Zamlakany (wafat th. 727 H) pernah berkata: “Apakah ia ditanya tentang suatu bidang ilmu, maka siapa pun yang mendengar atau melihat (jawabannya) akan menyangka bahwa dia seolah-olah hanya membidangi ilmu itu, orang pun akan yakin bahwa tidak ada seorangpun yang bisa menandinginya”. Para Fuqaha dari berbagai kalangan, jika duduk bersamanya pasti mereka akan mengambil pelajaran bermanfaat bagi kelengkapan madzhab-madzhab mereka yang sebelumnya belum pernah diketahui. Belum pernah terjadi, ia bisa dipatahkan hujahnya. Ia tidak pernah berkata tentang suatu cabang ilmu, baik ilmu syariat atau ilmu lain, melainkan dari masing-masing ahli ilmu itu pasti terhenyak. Ia mempunyai goresan tinta indah, ungkapan-ungkapan, susunan, pembagian kata dan penjelasannya sangat bagus dalam penyusunan buku-buku.”
Imam Adz-Dzahabi rahimahullah (wafat th. 748 H) juga berkata: “Dia adalah lambang kecerdasan dan kecepatan memahami, paling hebat pemahamannya terhadap Al-Kitab was-Sunnah serta perbedaan pendapat, dan lautan dalil naqli. Pada zamannya, beliau adalah satu-satunya baik dalam hal ilmu, zuhud, keberanian, kemurahan, amar ma’ruf, nahi mungkar, dan banyaknya buku-buku yang disusun dan amat menguasai hadits dan fiqh.
Pada umurnya yang ke tujuh belas beliau sudah siap mengajar dan berfatwa, amat menonjol dalam bidang tafsir, ilmu ushul dan semua ilmu-ilmu lain, baik pokok-pokoknya maupun cabang-cabangnya, detailnya dan ketelitiannya. Pada sisi lain Adz-Dzahabi mengatakan: “Dia mempunyai pengetahuan yang sempurna mengenai rijal (mata rantai sanad), Al-Jarhu wat Ta’dil, Thabaqah-Thabaqah sanad, pengetahuan ilmu-ilmu hadits antara shahih dan dhaif, hafal matan-matan hadits yang menyendiri padanya ….. Maka tidak seorangpun pada waktu itu yang bisa menyamai atau mendekati tingkatannya ….. Adz-Dzahabi berkata lagi, bahwa: “Setiap hadits yang tidak diketahui oleh Ibnu Taimiyah, maka itu bukanlah hadist.
Demikian antara lain beberapa pujian ulama terhadap beliau.
[sunting] Pranala luar
- Ibnu Taimiyah, Bathal Al-Islah Ad-Diny. Mahmud Mahdi Al-Istambuli. Maktabah Dar-Al-Ma'rifah-Dimasyq.
- Perjalanan Hidup Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah (Bag. 1), Media Muslim INFO
- Perjalanan Hidup Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah (Bag. 2), Media Muslim
Antara Taklid dan ‘Ittiba’…..
Asy-syinqithi rahimahullah berkata :
“Ketahuilah bahwa suatu hal yang patut untuk diketahui adalah perbedaan antara taklid dan ittiba’. Tidak boleh bertaklid dalam hal hal yang mengharuskan ittiba’ .”
Penjelasannya, bahwa tidak boleh bertaklid dalam setiap hukum yang memiliki dasar yang jelas dari Al quran, Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, atau ijma’. Sebab setiap ijtihad yang bertentangan denagn nash syar’i adalah ijtihad bathil, dan tidak boleh melakukan taklid kecuali pada permasalahan yang dibolehkan untuk berijtihad. Karena Al Quran dan As Sunnah adalah hakim atas setiap mujtahid. Tidak seorangpun dari mereka yang boleh menyelisihi Al Quran dan As Sunnah.
Tidak boleh bertaklid pada pendapat yang bertentangan dengan Al Quran, As Sunnah, atau ijma’ ulama. Sebab tidak boleh mengikuti selain yang haq. Tidak ada suatu masalah yang ada petunjuknya dari nash kecuali wajib untuk di ikuti. Tidak ada ijtihad dan taklid dalam perkara yang ada nashnya dari Al Quran dan As Sunnah, yang tidak bertentangan dengan nash lainnya.
Perbedaan antara taklid dan ittiba’ adalah perkara yang sudah dimaklumi di kalangan ulama. Tiada seorang ulamapun berselisih dalam menentukan maknanya.
Ibnu Abdil Barr rahimahullah menukil ucapan Ibnu khuwaiz Mandad dalam kitab Jami’ nya. Beliau mengatakan, taklid menurut pengertian syari’at adalah mengikuti pendapat yang tidak memiliki hujjah atau dalil. Dan ini adalah perbuatan yang dilarang dalam syari’at. Adapun itibba’ adalah mengikuti pendapat yang memiliki dasar dalil.
Pada tempat lain dalam bukunya beliau berkata “Setiap pendapat yang kamu ikuti tanpa ada landasan dalil, berarti kamu telah melakukan taklid dan taklid dalam agama Allah ta’ala adalah perbuatan yang tidak benar. Setiap pendapat yang kamu ikuti karena ada dalil yang mewajibkannya, berarti kamu melakukan ittiba’. Itibba’ dalam agama diperbolehkan, sedangkan taklid adalah perbuatan yang dilarang.”
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata dalam I’lam Al-muwaqi’in :
Imam Ahmad rahimahullah membedakan antara taklid dan ittiba’. Abu Dawud berkata “Aku pernah mendengar Ahmad berkata, Itiiba’ adalah seseorang yang mengikuti apa yang berasal dari Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam dan dari para sahabatnya. Adapun tabi’in boleh di ikuti dan boleh juga tidak”
Ibnu Qayyim melanjutkan, adapaun beramal dengan wahyu disebut ittiba bukan taklid, dan ini perkara yang sudah dapat dipastikan. Banyak sekali ayat yang menamakannya sebagai ittiba’, seperti Firman Allahu ta’ala berikut ini :
اتَّبِعُواْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء قَلِيلاً مَّا تَذَكَّرُونَ
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya . Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).
(Al A’raf :3)
اتَّبِعْ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ لا إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ
Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu; tidak ada Tuhan selain Dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik (Al An’am : 106)
dan ayat ayat semisal ini cukup banyak dan sudah dikenal.
Jadi beramal dengan wahyu disebut ittiba’ sebagaimana telah ditunjukkan oleh ayat ayat diatas.
Seperti sudah diketahui dan tidak disangsikan lagi bahwa mengikuti wahyu yang diperintahkan dalam ayat ayat tersebut mengandung arti bahwa ijtihad tidak sah jika bertentangan denganwahyu tersebut. Dan tidak boleh pula bertaklid dengan sesuatu yang jelas bertentangan dengannya.
Jelaslah sudah perbedaan antara ittiba’ dan taklid, tidak boleh melakukan ijtihad dan taklid pada permasalahan ittiba. Oleh karena itu nash nash yang shohih yang menunjukkan dengan jelas tentang hukum suatu masalah dan tidak bertentangan dengan nash nash lainnya, sama sekali tidak boleh disertai dengan ijtihad dan taklid. Sebab, sebagaimana sudah dimaklumi, mengikuti dan menaati nash tersebut hukumnya wajib atas setiap orang, siapapun orangnya.
Dengan demikian kita tahu bahwa syarat syarat mujtahid yang ditetapkan ahli ushul hanyalah disyaratkan untuk ijtihad. Sementara perkara ittiba bukanlah perkara ijtihad. Menjadikan syarat syarat mujtahid untuk pelaku ittiba’ adalah suatu kerancuan. Karena sebagaimana kita lihat, terdapat perbedaan yang mencolok antara ijtihad dan ittiba. Lagi pula objek ittiba tidak sama dengan objek ijtihad.
Kesimpulan akhirnya bahwa ittiba wahyu tidak disyaratkan apapun kecuali mengetahui apa yang diamalkannya dari wahyu yang diikutinya. Oleh karena itu ia boleh mengetahui hadits dan mengamalkannya, serta mengetahui ayat dan mengamalkannya. Untuk mengamalkan itu semua tidak perlu harus memenuhi semua syarat syarat ijtihad (yang ditetapkan oleh ahli ushul).
Dengan demikian, setiap mukallaf (oraang yang sudah terbebani hukum syar’i) wajib mempelajari Al Quran dan as Sunnah untuk suatu amalan yang dibutuhkan lantas mempraktekkannya sesuai dengan pengetahuan yang telah dikuasainya, sebagaimana telah dilakukan oleh generasi awal terbaik ummat ini.
Allahu a’lam
Disalin dari Shahih Fiqh Sunnah jilid I ,oleh Abu Malik Kamal bin As Sayyid Salim, terbitan Pustaka At Tazkia,,2006 hal 81-84 ( dengan penyesuaian )
semoga salafi juga mengamalkan apa yang anda tulis……
Oleh: cuma aku on Nopember 25, 2007
at 9:47 pm
wah…cepet banget replynya…..
kenyataannya….apa yang dikatakan “ulama” salafi secara otomatis “anak buah” nya mengamini…apakah ini bukan taklid….???
Oleh: cuma aku on Nopember 25, 2007
at 10:06 pm